Friday, January 29, 2010

TEKNIK PEMERIKSAAN RADIOLOGI PADA KASUS APENDISITIS (RADANG USUS BUNTU)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemeriksaan radiografi seperti sekarang ini cenderung mulai meninggalkan tradisi pemeriksaan radiologi konvensional, hal ini dapat dilihat dari berbagai diagnosis yang memerlukan keterampilan khusus di dalam melakukan pemeriksaannya. Seperti pemberian media kontras dalam keperluan diagnostic imejing seperti CT-Scan, MRI, IVP dan lain sebagainya.

Maka dari itu seorang radiographer sebagai mitra kerja radiologist harus mampu mengetahui berbagai aspek di dalam pemeriksaan dengan media kontras, salah satunya yakni pemeriksaan radiologi pada kasus apendisitis (usus buntu) atau disebut apendicography.


Melihat pentingnya hal tersebut di atas dalam dunia kerja sebagai radiographer, maka dalam kesempatan kali ini penulis akan menyajikan makalah mengenai teknik pemeriksaan radiologi pada kasus apendisitis.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan uraian di atas dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut :
  1. Apa definisi dari apendisitis?
  2. Bagaimana teknik pemeriksaan pada kasus apendisitis?
1.3. Tujuan

Dilihat dari latar belakang penulisan makalah ini maka dapat disimpulkan tujuan penulisan makalah ini menjadi dua yakni tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui pengertian dari penyakit apendisitis dan pemeriksaan radiologi yang dilakukan.

1.3.2. Tujuan Khusus
Memahami lebih detail mengenai teknik pemeriksaan apendiks atau apendicografi, mulai dari persiapan pasien sampai dengan kriteria gambaran.

1.4. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan ini adalah :
  1. Memberikan gambaran mengenai pengertian apendisitis.
  2. Memberikan gambaran mengenai teknik pemeriksaan apendichografi.
TINJAUAN TEORI

2.1. Apendisitis (radang usus buntu)


Pendahuluan
Apendisitis adalah peradangan pada apendix vermiformis (Pierce dan Neil, 2007). Apendisitis merupakan kasus laporotomi tersering pada anak dan juga pada orang dewasa (Ahmadsyah dan Kartono, 1995). Hampir 7% orang barat mengalami apendisitis dan sekitar 200.000 apendiktomi dilakukan di Amerika Serikat tiap tahunnya. Insidens semakin menurun pada 25 tahun terakhir, namun di negara berkembang justru semakin meningkat, kemungkinan disebabkan perubahan ekonomi dan gaya hidup (Lawrence, 2006).

Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens laki-laki lebih tinggi, sedangkan pada bayi dan anak sampai berumur 1-2 tahun jarang ditemukan (Syamsuhidajat, 1997).
Diagnosis harus ditegakkan dini dan tindakan harus segera dilakukam, keterlambatan penanganan menyebabkan penyulit perforasi dan berbagai akibatnya (Ahmadsyah dan Kartono, 1995).
Anatomi dan Fisiologi Appendix
Pada neonatus, apendix vermiformis (umbai cacing) adalah sebuah tonjolan dari apex caecum, tetapi seiring pertumbuhan dan distensi caecum, appendix berkembang di sebelah kiri dan belakang kira-kira 2,5 cm di bawah valva ileocaecal (Lawrence, 2006). Istilah usus buntu yang sering dipakai di masyarakat awan adalah kurang tepat karena usus buntu sebenarnya adalah caecum. Appendix merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya sekitar 10 cm (3-15 cm). Lumennya sempit di bagian proximal dan melebar di bagian distal. Namun, pada bayi, appendix berbentuk kerucut, lebar di pangkal, dan sempit di ujung (Syamsuhidajat, 1997). Ontogenitas berasal dari mesogastrium dorsale. Kebanyakan terletak intraperitoneal dan dapat digerakkan. Macam-macam letak appendix : retrocaecalis, retroilealis, pelvicum, postcaecalis, dan descendentis (Budiyanto, 2005).
Pangkal appendix dapat ditentukan dengan cara pengukuran garis Monroe-Pichter. Garis diukur dari SIAS dextra ke umbilicus, lalu garis dibagi 3. Pangkal appendix terletak 1/3 lateral dari garis tersebut dan dinamakan titik Mc Burney. Ujung appendix juga dapat ditentukan dengan pengukuran garis Lanz. Garis diukur dari SIAS dextra ke SIAS sinistra, lalu garis dibagi 6. Ujung appendix terletak pada 1/6 lateral dexter garis tersebut (Budiyanto, 2005).

Appendix menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir tersebut secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GULT yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendix adalah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi (Syamsuhidajat, 1997).
Etiologi Apendisitis

Penyebabnya hampir selalu akibat obstruksi lumen appendix oleh apendikolit, fekalomas (tinja yang mengeras), parasit (biasanya cacing ascaris), benda asing, karsinoid, jaringan parut, mukus, dan lain-lain (Subanada, dkk, 2007, Price dan Wilson, 2006).

Patofisiologi

Setelah terjadi obstruksi lumen appendix maka tekanan di dalam lumen akan meningkat karena sel mukosa mengeluarkan lendir. Peningkatan tekanan ini akan menekan pembuluh darah sehingga perfusinya menurun akhirnya mengakibatkan iskemia dan nekrosis. Invasi bakteri dan infeksi dinding appendix segera terjadi setelah dinding tersebut mengalami ulserasi. Infiltrat-infiltrat peradangan tampak di semua lapisan dan exudat fibrin tertimbun di dalam lapisan serosa. Meskipun perforasi belum terjadi, organisme-organisme biasanya dapt dibiakan dari mukosa appendix. Nekrosis dinding appendix mengakibatkan perforasi dan pencemaran abdomen oleh tinja (Subanada, dkk, 2007; Chandrasoma, 2006).

Gambaran Klinis


Nyeri di sekitar umbilikus dan epigastrium disertai anoreksia (nafsu makan menurun), nausea, dan sebagian dengan muntah. Beberapa jam kemudian nyeri berpindah ke kanan bawah ke titik Mc Burney disertai kenaikan suhu tubuh ringan (Ahmadsyah dan Kartono, 1995). Bila appendix terletak retrokolik, rasa nyeri terasa di daerah pinggang bagian bawah, bila terletak pelvical rasa nyeri dirasakan di hipogastrium atau di dalam pelvis, dan bila terletak retrocaecal bisa mengiritasi m. psoas. Pada pemeriksaan fisik, pasien terlihat pucat, adanya nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas, dan tahanan otot (defans muskuler). Iritasi pada psoas dan obturator menimbulkan nyeri panggul. Peristaltik di daerah appendix menurun. Pada rectal toucher, ada nyeri pada arah jam 10-11 merupakan petunjuk adanya perforasi (Subanada, dkk, 2007).

Diagnosis Banding

Beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding (Pierce dan Neil, 2007):
limfadenitis mesenterica terutama pada anak-anak.
penyakit pelvis pada wanita : inflamasi pelvis, ISK, kehamilan ektopik, ruptur kista korpus luteum, endometriosis externa.
lebih jarang : penyakit Crohn, kolesistitis, perforasi ulkus duodenum, pneumonia kanan bawah.
jarang : perforasi karsinoma caecum, diverkulitis sigmoid

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan bila memenuhi (Pierce dan Neil, 2007):
gambaran klinis yang mengarah ke appendisitis.
laboratorium : lekositosis ringan, lekosit > 13.000 /dl biasanya pada perforasi, terdapat pergeseran ke kiri (netrofil segmen meningkat).
USG untuk massa appendix dan jika masih ada keraguan untuk menyingkirkan kelainan pelvis lainnya.
laporoskopi biasanya digunakan untuk menyingkirkan kelainan ovarium sebelum dilakukan apendiktomi pada wanita muda.
CT scan pada usia lanjut atau dimana penyebab lain masih mungkin.

Penatalaksanaan

Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendiktomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik. Penundaan tindak bedah sambil pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Apendiktomi bisa dilakukan secara terbuka atau pun dengan cara laporoskopi. Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata (Syamsuhidajat, 1997).

Komplikasi

Beberpa komplikasi yang dapat terjadi :

1. Perforasi
Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya perforasi. Perforasi appendix akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut, peristaltik usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik (Syamsuhidajat, 1997).

2. Peritonitis
Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan begitu, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan mungkin syok. Gejala : demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, Abdomen tegang, kaku, nyeri tekan, dan bunyi usus menghilang (Price dan Wilson, 2006).

3. Massa Periapendikuler
Hal ini terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh omentum. Umumnya massa apendix terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis generalisata. Massa apendix dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan keadaan umum masih terlihat sakit, suhu masih tinggi, terdapat tanda-tanda peritonitis, lekositosis, dan pergeseran ke kiri. Massa apendix dengan proses meradang telah mereda ditandai dengan keadaan umum telah membaik, suhu tidak tinggi lagi, tidak ada tanda peritonitis, teraba massa berbatas tegas dengan nyeri tekan ringan, lekosit dan netrofil normal (Ahmadsyah dan Kartono, 1995).

Prognosis
Apendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi prognosisnya baik. Kematian dapat terjadi pada beberapa kasus. Setelah operasi masih dapat terjadi infeksi pada 30% kasus apendix perforasi atau apendix gangrenosa.

Pencegahan

Sering makan makanan berserat dan menjaga kebersihan.

2.2. Patology

Bila terjadi peradangan dan appendik dapat mengakibatkan :
  • Masuknya lumen usus ke dalam perut : peritonitis
  • Terbentuknya Abses 
  • Pada wanita , indung telur dan salurannya dapat menyebabkan kemandulan 
  • Masuknya kuman dalam pembuluh dara
PEMBAHASAN DAN HASIL

3.1. Appendikografi

DEFINISI :

Appendikografi : Teknik pemeriksaan radiologi untuk memvisualisasikan appediks dengan menggunakan kontras media positif barium sulfat .

Dapat dilakukan :
  • Secara oral
  • Ecara anal
PERSIAPAN PASIEN
  •  48 jam sebelum pemeriksaan dianjurkan makan makanan lunak tidak berserat. Misal : bubur kecap
  • 12 jam atau 24 jam sebelum pem pasien diberikan 2/3 Dulcolac untuk diminum 
  • Pagi hari pasien deberi dulkolac supositoria melalui anus atau dilavement 
  • 4 jam sebelem pemeriksaan pasien harus puasa hingga emeriksaan berlangsung 
  • Pasien dianjurkan menghindari banyak bicara dan merokok
PERSIAPAN ALAT
  • Pesawat sinar-X yg dilengkapi fluoroskopi & dilengkapi alat bantu kompresi yg berfungsi untuk memperluas permukaan organ yg ada didaerah ileosaekal / memodifikasi posisi pasien supine mjd prone
  • Kaset + film
PERSIAPAN BAHAN
  • Bahan kontras barium sulfat dengan perbandingan 1 : 4 sampai 1 : 8

3.2. Teknik Pemeriksaan


PA/AP PROJECTION

Posisi Pasien : Pasien pada posisi pone atau supine, dengan bantal di kepala.

Posisi Objek :
  • MSP berada di tengah-tengah meja pemeriksaan
  • Pastikan tidak ada rotasi 
Central Ray :
  • CR tegak lurus terhadap kaset
  • CR setingi iliac crest 
  • SID minimal 100 cm
Struktur yang tampak :
  • Colon bagian transversum harus diutamaka terisi barium.pada posisi PA dan terisi udara pada posisi AP dengan teknik double contrast.
  • Seluruh luas usus harus nampak termasuk flexure olic kiri.
RPO (Right Posterior Oblique)

Posisi Pasien : 35 to 45o menuju right dan left porterior oblique (RPO atau LPO), dengan bantal pada bantal

Posisi Objek :
  • Letakan bantal di atas kepala.
  • Flexikan siku dan letakan di depan tubuh pasien 
  • Luruskan MSP dengan meja pemeriksaan dengan abdominal margins kiri dan kanan sama jauhnya dari garis tengah meja pemeriksaan

CENRAL RAY :
  • CRtegak lurus terhadap IR
  • Sudutkan CR dengan titik pusat setinggi iliac crest dan sekitar 2,5 cm lateral menuju garis midsaggital plane (MSP).  
  • SID minimal 100 cm
STRUKTUR YANG TAMPAK
  • LPO – colic flexura hepatic kanan dan ascending & recto sigmoid portions harus tampak terbuka tanpa superimposition yang significant. RPO- colicflexure kiri dan descending portions harus terlihat terbuka tanpa superimposition yang significant.

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari penulisan makalah ini antara lain :
  1. Apendisitis (radang usus buntu) adalah peradangan pada apendix vermiformi.
  2. Appendikografi merupakan teknik pemeriksaan radiologi untuk memvisualisasikan appediks dengan menggunakan kontras media positif barium sulfat, yang dilakukan dengan dua proyeksi, yakni PA/AP dan RPO atau RAO.

2 komentar:

permisi mas..
saya pandji mahasiswa tro yg sekarang tingkat 3..
klo boleh tau prosedur/lanbgkah2 teknik pemeriksaan apendikogram nya ini dari buku apa yahh??
trima kasih

terus minum barium sulfat nya kapan (di persiapan pasien ko tidak ada penjelasan kapan waktu hRUS DIMINUMNYA)

Post a Comment

Terimakasih telah mampir. Silahkan berikan komentar anda. Salam.