Anatomi Hidung
Hidung merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang yang dipisahkan oleh sekat hidung. Bagian luar dinding hidung terdiri dari kulit, lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang rawan, lapisan dalam terdiri dari selaput lendir yang berlipat-lipat yang dinamakan konka hidung (konka nasalis) (Syaifuddin, 1995).
Gambar 1. Kerangka luar hidung (Ballenger, 1994)
Keterangan :
1. Kartilago lateralis superior
2. Septum
3. Kartilago lateralis inferior
4. Kartilago alar minor
5. Processus frontalis tulang maksila
6. Tulang hidung
Pada gambar 1 tampak kerangka luar hidung yang terdiri dari dua tulang hidung, processus frontal tulang maksila, kartilago lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior dan tepi anterior kartilago septum nasi. Tepi medial kartilago lateralis superior menyatu dengan kartilago septum nasi dan tepi atas melekat erat dengan permukaan bawah tulang hidung serta processus frontal tulang maksila. Tepi bawah kartilago lateralis superior terletak di bawah tepi atas kartilago lateralis inferior. Hidung berbentuk piramid, kira-kira dua per lima bagian atasnya terdiri dari tulang dan tiga per lima dibawahnya tulang rawan.
Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks, agak ke atas dan belakang dari apeks disebut batang hidung atau dorsum nasi, yang berlanjut sampai ke pangkal hidung dan menyatu dengan dahi, yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu di posterior bagian tengah bibir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung (Ballenger, 1994).
Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks, agak ke atas dan belakang dari apeks disebut batang hidung atau dorsum nasi, yang berlanjut sampai ke pangkal hidung dan menyatu dengan dahi, yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu di posterior bagian tengah bibir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung (Ballenger, 1994).
Dasar hidung dibentuk oleh processus palatina (1/2 bagian posterior) yang merupakan permukaan atas lempeng tulang tersebut (Bajpai, 1991)
Gambar 2. Rongga hidung pandangan bawah (Ballenger, 1994)
Keterangan :
1. Kartilago alar
a. Medial crus
b. Lateral crus
2. Spins hidungis anterior
3. Fibro aleolar
4. Kartilago septal
5. Sutura intermaksilaris
Pada tulang tengkorak, lubang hidung yang berbentuk segitiga disebut apertura piriformis. Tepi latero superior dibentuk oleh kedua tulang hidung dan processus frontal tulang maksila. Pada gambar dua memperlihatkan tonjolan di garis tengah hidung yang disebut spina hidungis anterior. Bagian hidung bawah yang dapat digerakkan terdiri dari dua tulang alar (lateral inferior) dan kadang-kadang ada tulang sesamoid di lateral atas. Tulang rawan ini melengkung sehingga membuat bentuk nares. Kedua krus medial dipertemukan di garis tengah oleh jaringan ikat dan permukaan bawah septum oleh kulit. Di dekat garis tengah, krus lateral sedikit sedikit tumpang tindih dengan kartilago lateralis superior. Krus medial saling terikat longgar dengan sesamanya.
Beberapa tulang rawan lepas, kecil-kecil (kartilago alar minor) sering ditemukan di sebelah lateral atau di atas krus lateral. Kulit yang membungkus hidung luar tipis dan mengandung jaringan sub kutan yang bersifat areolar (Ballenger, 1994).
Tulang hidung merupakan tulang yang rata, yang satu dengan yang lain bersendi di garis tengah menuju jembatan hidung, masing-masing tulang berbentuk empat persegi panjang yang mempunyai dua permukaan dan empat pinggir (Bajpai, 1991). Nares anterior menghubungkan rongga hidung dengan dunia luar. Nares anterior lebih kecil dibandingkan dengan nares posterior yang berukuran kira-kira tinggi 2,5 cm dan lebar 1,25 cm (Ballenger, 1994).
Gambar 3. Permukaan medialis tulang hidung kiri (Bajpai, 1991)
Keterangan :
1.Pinggir superior
2.Pinggir medialis dan krista maksilaris
3.Foramen vaskuler
4.Sulkus untuk nervus ethmoidalis
5.Pinggir lateral
Permukaan eksternus sedikit cembung dan terdapat foramen vaskuler yang dilalui oleh sebuah vena kacil dari hidung. Sebagaimana gambar 3 terlihat permukaan internus yang sedikit cekung dalam bidang transversal dan terdapat sebuah alur tegak lurus untuk dilalui oleh nervus ethmoidalis anterior serta pembuluh-pembuluh darahnya. Pinggir superior merupakan pinggir yang paling tebal, tetapi sedikit lebih pendek daripada pinggir inferior dan bersendi dengan bagian medialis incisura hidungis tulang frontal. Pinggir lateralis bersendi dengan processus frontalis tulang maksila dan pinggir medialis membentuk sutura interhidungis, bersendi dengan tulang yang sama dari sisi yang berlawanan.tulang hidung ini berkembang dari penulangan membranosa dengan satu pusat primer yang tampak pada umur 12 minggu dari kehidupan intrauterin (Bajpai,1991). Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, tulang hidung, processus tulang maksila, korpus tulang ethmoid dan korpus tulang sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribosa yang dilalui filamen-filamen nervus olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius yang berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior (Ballenger, 1994).
Gambar 4. Septum nasi tanpa mukosa (Ballenger,1994)
Keterangan :
1. Tulang frontal
2. Spina frontalis
3. Tulang hidung
4. Kartilago septalis
5. Kartilago lateralis superior
6. Kartilago alar
7. Kartilago vomerohidung
8. Spina hidungis anterior
9. Incisura canal
10. Lamina perpendikularis tulang ethmoid
11. Sinus spenoid
12. Tulang vomer
13. Krista palatum
14. Krista maksila
Sebagaimana terlihat pada gambar 4 diatas bahwa septum (dinding medial) dibentuk oleh tulang vomer di sebelah postero superior. Kartilago septalis terletak di sebelah anterior di dalam angulus internus diantara tulang vomer dan lamina perpendikularis. Krista tulang hidung di sebelah antero superior, rostrum dan krista os spenoidalis di sebelah postero superior, sedangkan krista hidungis maksila serta os palatum berada disepanjang dasar hidung (Bajpai, 1991). Tepi bawah artikulasio kartilago quadrilateral dengan spina maksilaris dan tulang vomer terdapat dua kartilago lain yang dikenal dengan kartilago vomero hidung. Septum dilapisi oleh perichondrium yang merupakan kartilago dan periosteum yang merupakan tulang, sedangkan di bagian luarnya oleh mukosa membran (Hall, 1979). Bagian atas dari tulang rawan hidung terdiri dari dua kartilago lateralis inferior (kartilago alar) yang bentuknya bervariasi (Ballenger, 1994). Kavum nasi meluas dari nares sampai di belakang khoana. Bagian ini dibagi menjadi dua bagian atau dua fossa hidungis oleh septum nasi yang dibentuk oleh atap rongga terdiri dari processus palatina horisontalis di bagian posterior (Meschan, 1959). Kavum nasi dibagi oleh septum nasi menjadi dua ruang yang mempunyai struktur anatomis hampir sama tetapi tidak simetris (Hall, 1979). Dinding lateral terdapat suatu tonjolan yang disebut sebagai konka yang di atasnya terdapat suatu celah disebut meatus. Ada tiga buah konka atau turbinatus yaitu konka inferior, konka media, dan konka superior. Konka inferior terdiri dari tulang yang menahan dinding lateral kavum nasi. Konka media dan konka superior merupakan bagian dari tulang ethmoid. Konka dilapisi oleh suatu mukosa membranosa dan ephitelium bersilia. Di bawah mukosa terdapat jaringan erectile, terutama pada bagian anterior dan posterior dari tepi konka inferior, bawah konka inferior dan tepi anterior konka media (Hall, 1979). Selain tiga buah konka diatas, kadang-kadang terdapat konka ke empat (konka suprema) yang teratas (Ballenger,1994). Konka hidungis suprema atau konka ke empat terletak pada permukaan tulang ethmoidalis daitas dan dibelakang konka hidungis superior (Bajpai, 1991).
Fungsi Hidung
1. Alat Penciuman
Nervus olfaktorius atau saraf kranial melayani ujung organ pencium. Serabut-serabut saraf ini timbul pada bagian atas selaput lender hidung, yang dikenal sebagai bagian olfaktorik hidung. Nervus olfaktorius dilapisi sel-sel yang sangat khusus, yang mengeluarkan fibril-fibril halus untuk berjalin dengan serabut-serabut dari bulbus olfaktorius. Bulbus olfaktorius pada hakekatnya merupakan bagian dari otak yang terpencil, adalah bagian yang berbentuk bulbus (membesar) dari saraf olfaktorius yang terletak di atas lempeng kribiformis tulang ethmoid. Dari bulbus olfaktorius, perasaan bergerak melalui traktus olfaktorius dengan perantaraan beberapa stasiun penghubung, hingga mencapai daerah penerimaan akhir dalam pusat olfaktori pada lobus temporalis otak, dimana perasaan itu ditafsirkan (Pearce, 2002).
2. Saluran Pernapasan
Rongga hidung dilapisi selaput lender yang sangat kaya akan pembuluh darah, dan bersambung dengan lapisan faring dan dengan selaput lender semua sinus yang mempunyai lubang masuk ke rongga hidung. Daerah pernapasan dilapisi dengan epithelium silinder dan sel epitel berambut yang mengandung sel cangkir atau sel lender. Sekresi dari sel itu membuat permukaan nares basah dan berlendir. Diatas septum nasalis dan konka selaput lender ini paling tebal, yang diuraikan di bawah. Adanya tiga tulang kerang (konkhae) yang diselaputi epithelium pernapasan dan menjorok dari dinding lateral hidung ke dalam rongga, sangat memperbesar permukaan selaput lendir tersebut. Sewaktu udara melalui hidung, udara disaring oleh bulu-bulu yang terdapat di dalam vestibulum, dan arena kontak dengan permukaan lender yang dilaluinya maka udara menjadi hangat, dan oleh penguapan air dari permukaan selaput lender menjadi lembab (Pearce, 2002).
3. Resonator
Ruang atas rongga untuk resonansi suara yang dihasilkan laring, agar memenuhi keinginan menjadi suara hidung yang diperlukan. Bila ada gangguan resonansi, maka udara menjadi sengau yang disebut nasolalia (Bambang, 1991).
4 Regulator atau Pengatur (Bambang, 1991)
Konka adalah bangunan di rongga hidung yang berfungsi untuk mengatur udara yang masuk, suhu udara dan kelembaban udara.
5. Protektor Atau Perlindungan
Hidung untuk perlindungan dan pencegahan (terutama partikel debu) ditangkap oleh rambut untuk pertikel yang lebih kecil, bakteri dan lain-lain melekat pada mukosa. Silia selanjutnya membawa kebelakang nasofaring, kemudian ditelan (Bambang, 1991).
1 komentar:
daftar pustakanya boleh di lampirkan?
Post a Comment
Terimakasih telah mampir. Silahkan berikan komentar anda. Salam.